NGARAK CAI CIMAHI
Oleh Hermana HMT
Secara asal-usul
kata, dalam bahasa Sunda kirata, Cimahi terdiri dari dua suku kata yaitu Ci dan
Mahi. Ci mengandung makna Cai (air) dan Mahi mengandung makna cukup. Jika
disambungkan Cimahi mengandung arti selalu berkecukupan air.
Dalam bahasa
Sansakerta kata Ci mengandung arti kilauan cahaya dari permukaan air atau disebut juga energy dan Mahi mengandung
arti bumi. Dalam Bahasa ini Cimahi mengandung arti pancaran cehaya bumi atau
bisa disebut juga energi bumi.
Kata Ci juga
ditemukan dalam bahasa Cina. Ci disini mengandung arti energi. Sedangkan kata
Mahi juga ditemukan dalam bahasa Arab yaitu salah satu sebutan bagi Nabi
Muhammad. Mahi bermakna yang menghapus. Jika kita maknai dua suku kata ini, Cimahi bermakna sebagai
energi pengahapus atau energi pembersih. Energi pembersih yang sering kita
pakai adalah air.
Paparan asal
usul kata menunjukan bahwa Cimahi tidak lepas dari unsur air.
Bahkan secara geografis Cimahi dilintasi atau terbelah oleh aliran sungai besar bernama sungai Cimahi dan dari nama sungai itulah nama Kota Cimahi diambil.
Sebagai kawasan
Bandung Utara, Kota Cimahi bagian utara menjadi tempat serapan air. Maka tidak
heran jika di Cimahi Utara banyak ditemukan sumber mata air dan berpengaruh
pada perkembangan kebudayaan masyarakat di sekitarnya. Salah satunya dikawasan
itu muncul budaya, ritual yang berhungan dengan air seperti Ngabungbang,
memandikan anak yang akan di hitan, Hajat Lembur dan lainnya.
Berkembangnya
zaman dan alih fungsi lahan pertanian jadi pemukiman, kebudayaan yang
berhubungan dengan air kini sudah pudar. Seiring dengan lenyapnya puluhan
sumber mata air di kawasan Cimahi, tidak terdengar lagi istilah seperti kerja
bakti dalam betuk bersih-bersih
sungai, bersih-bersih sumber mata air dan malamnya melakukan syukuran dengan
menampilkan aneka ragam seni Sunda.
Efek dari
lenyapnya puluhan sumber mata air dan kotornya air sungai di Kota Cimahi
berimbas besar pada ketersedian air bersih. Cimahi yang mengandung makna
berkecupan air, sekarang senantiasa kekurangan air bersih terutama disaat musim
kemarau, dan di musim hujan air tidak terserap hingga sering terjadi banjir.
Selain secara
teknik, salah satu penanggulangannya adalah membangun kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya memulyakan air dan lingkungan dengan pendekatan budaya,
menghidupkan kembali kearifan lokan salah satunya gelar Upacara Ngarak Cai
Cimahi.
Ngarak Cai Cimahi
adalah karnaval/helaran/kirab budaya membawa air. Setiap peserta kirab budaya
Ngarak Cai berjumlah 20 orang, terdiri dari pembawa air, penari, pemusik, dan
pengiring lainnya. Peserta kirab budaya Ngarak Cai berkumpul di suatu tempat,
setelah diatur nomor urutnya, sambil melakukan aktarsi seni seluruh peserta
kirab berjalan menuju pusat pertemuan. Kota Cimahi memiliki 15 kelurahan dan
setiap kelurahan paling sedikit mewakitkan
1 perserta kirab, sehingga jumlah peserta kirab ada 15 dan paling
sedikit melibatkan 300 orang.
Setelah air itu diarak kumudian dilakukan Upacara
Adat Kawin Cai Cimahi. Kawin Cai adalah ungkapan budaya yang
berkembang di beberapa wilayah di Jawa Barat. Inti dari upacara ini merupakan
ungkapan rasa syukur tehadap pencipta alam semesta yang telah memberi
kemakmuran bagi masyarakat terutama dalam hal tersedianya sumber mata air,
sungai atau danau yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan. Kawin Cai,
juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam membangun kesadaran
menjaga, memeliharan, dan merawat kelangengan kesedian air bersih, serta
melstarikan lingkungan hidup sebagai tempat air tersipan secara alamiah.
Kawin Cai Cimahi merupakan prosesi memasukan
dan menyatukan air
yang dibawa dari berbagai wilayah (Kelurahan) ke dalam
satu tempayan berukuran besar dan dibawahnya ada tiga titik saluran air yang
tertutup. Sebelum memasukan
air ke dalam tempayan, tahapannya dimulai dengan prosesi yang terdiri doa
sebagai ucup syukur dan permohonan berkah, dilanjutkan persembahan tarian dan
musik pembawa air (Nimang Cai, Rengkong
Gentong dan Bangbarongan). Kemudian air yang di bawa penari dimasukun ke dalam
tempayan besar, dan air yang dibawa dari berbagai wilayah (Kelurahan) yang
diarak dalam kirab, oleh Lurah atau yang mewakilinya di masukan juga pada
tempayan besar yang sama. Setelah tempayan besar tersebut terisi air kemudian tiga
pimpinan daerah (walikota, wakil walikota, dan sekda) atau yang mewakilinya
sama-sama membuka tiga titik saluran air yang ada di tempayan tersebut,
sehingga airnya mengalir ke bawah dan ditampung dalam tiga tempayan berukuran
sedang. Walikota, wakil walikota dan Sekda dipersilahkan membasuh mukanya atau
berwudu dengan air tersebut, sedangkan air yang ditampung di tiga tempayan
secara simbolik oleh ketiga pimpinan daerah tersebut digunakan untuk menyiram
pohon/tanaman yang telah disediakan. Prosesi Upacara Adat Kawin Cai usai,
kemudian dilanjukan dengan pidato walikota atau yang mewakilinya dan secara
simbolik walikota atau yang mewakilinya memberikan bibit pohon pada Lurah untuk
ditanam di wilayah masing-masing. Kegiatan pun ditutup oleh pegelaran aneka ragam
kesenian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar