Kamis, 29 November 2007

LONGSER/FOLKLORE THEATRE


LONGSER, ANAK JADAH YANG TERLANTAR
Oleh : Hermana HMT

Teater rakyat seperti Longser, Lenong dan Ketoprak yang biasa pertunjukannya dapat dinikmati secara langsung ( live Show ) di sebuah lapangan atau gedung kesenian kini dapat dinikmati pula di layar kaca. Di sisi lain keberadaan teater rakyat lebih terangkat, namun dilain pihak terutama dalam segi kemasannya sering kali dibatasi oleh frame kamera. Atmosfir pertunjukan nampak tidak utuh karena adegan terpenggal-penggal oleh teknik pengambilan gambar yang berbeda ( dari mulai gambar Close Up sampai dengan Long Shoot ). Membuat pertunjukan yang biasa dilihat tanpa ada pembatas dan memiliki kedekatan dengan penonton menjadi berjarak, sehingga tidak ada lagi komunikasi secara langsung antara pemain dengan penontonnya.
Dari sekian banyak teater rakyat yang ditayangkan, ada pula kesadaran televisi untuk menghadirkan penonton secara langsung. Sampai akhir acara, saya lihat komunikasi atara pemain dan penonton cukup berjalan mulus layaknya pertunjukan di lapangan atau gedung kesenian. Lantas dengan penonton di rumah, bagaimana ? Pasti lain lagi ceritanya. Tapi terlepas dari lebih menarik nonton secarang langsung atau nonton di rumah, pertunjukan di televisi tetap tidak mampu mengangkat keorsinalitasan teater rakyat itu sendiri. Adegan demi adegan lebih menekankan pada lawakannya dan mengabaikan usur lain seperti tarian dan nyanyian sebagai ciri-ciri khusus di teater rakyat pada umumnya.
Industri pertelevisian di kita memang sering kali mengabaikan masalah humaniora dan orsinalitas. Gerak langkahnya lebih menitik beratkan pada orentasi pasar dan keuntungan besar. Jika tidak masuk pada katagori itu, maka bentuk pertunjukan atau kaidah yang ada dalam longser atau lenong akan ditinggalkan, dan memasukan kaidah-kaidah baru sesuai dengan selera masyarakat yang heterogen. Barang kali peristiwa pertunjukan seperti itulah yang dikatakan sebagian pengamat teater rakyat seperti longser “telah kehilangan roh longsernya”.
Melihat fenomena seperti itu tentunya kita tidak perlu mencari kambing hitam, siapa yang harus disalahkan, apa lagi banyak memberi pernyataan ini longser, itu bukan longser. Terpenting sekarang adalah kesenian sejenis itu bisa bertahan hidup layak, masyarakat merasa memiliki, pemerintah mengayomi dan akedimisi mewacanakannya dengan pikiran-pikiran yang sehat ( tidak menyudutkan ).
Saya percaya para pelaku longser masa kini sadar akan sejarahnya, tapi perlu diingat bahwa perkembangan kebudayaan tidak jalan di tempat. Sebagai contoh kecul, tidak jarang kebudayaan kita merupakan serapan dari kebudayan bangsa lain. Setelah merasa milik kita kebudayaan itu jauh berbeda dengan kebudayaan asalnya (lihat wayang). Longser bukanlah benda mati seperti prasasti batu tulis yang mesti dipertahankan keutuhannya. Longser hidup sesuai dengan perkembangan jiwa-jiwa yang menghidupkanya dan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Jauh sebelum Ateng Japar mendirikan longser Panca Warna, ia sempat bergabung dengan kelompok longser Bang Tilil dan dibesarkan di kelompok itu. Tapi beberapa tahun kemudian Atang Japar menyatakan memisahkan diri dari asuhan Bang Tilil dan membentuk kelompok baru yang disebut longser Panca Warna. Menurut pengakuan semasa hidupnya, longser Panca Warna merupakan terobosan baru dari longsernya Bang Tilil. Panca = lima dan warna = rupa. Lima menujukan jumlah dan warna menunjukan ragam material. Lima ragam material ini diantaranya; wawayangan, tari Cikeruhan, pencak silat, bodoran dan lakon.
Walau kemasannya memiliki sedikit perbedaan dengan longser miliknya dan masih menyandang nama longser, bagi Bang Tilil selaku pelopor longser tampak tidak ada indikasi keberatan atas gagasan yang tawarkan Ateng Japar. Kedua kelompok itu berjalan seiring. Dalam koridor serupa tapi tak sama, mereka berusaha keras saling memamerkan masing - masing kebolehannya diberbagai tempat, hingga satu ketika mereka pun menyepakati perjanjian tidak tertulis. Wilayah pertunjukan mereka dibagi dua, Ateng Japar melakukan pertunjukan dari kawasan sungai Citarum ke Selatan dan Bang Tilil dari kawasan sungai Citarum ke utara. Namun ketika Bang Tilil menyatakan mundur dari kancah longser batasan itu tidak berlaku lagi, bahkan sebagai tanda cinta kasihnya sebagai seorang guru, teman, anak, sekaligus saingan, dengan ketulusan hati, di titik pucak pernyataan diri lengser dari longser Bang Tilil memberikan dua buah saron kepada Ateng Japar.
Kini sepeninggalan Ateng Japar, dari panggung ke panggung pertunjukan longser yang dibawakan kelompok lain dan jarang disaksikan sebagian besar masyarakat priangan masih tetap berjalan. Kelompok mereka bermain tidak separah praduga para pengamat yang hanya menonton di masa lalu ( ketika sedang jaya-jayanya Bang Tilil dan Panca Warnanya Ateng Japar ) dan di layar kaca. Longser mereka dengan kebersahajaannya masih memancarkan aura kerakyatan dan kesundaan yang cukup kental. Gamelan salendro yang di usung kelompok longser Panca Warna masih menjadi primadona beberapa kelompok longser masa kini. Lagu kidung, tari bodoran, wawayangan, cikeruhan, jaipongan, lawakan, cerita dan komunikasi dengan penonton tetap menjadi ciri khas. Tidak ada indikasi kesinian itu sebagai media pelarian dari kejenuhan berproses dengan kesenian yang di impor dari Barat. Semuanya bergerak atas kecintaan akan nilai-nilai lokalitasnya. Semuanya menyatu dengan dinginnya malam, di tanah lapang Ciwidey, di Cisarua Lembang, di monumen perjuang dan Gasibu, di tanah liat Purwakarta, di pelataran tikotok CCL, di alun-alun kota kota karawang yang pengap dengan kepulan asap pabrik, diantara semaraknya bajidor Subang, di pinggiran rel kereta api yang sesekali kemunculanya mengagetkan pemain dan penonton, di pinggiran sungai Citarum, juga di tengah-tengah stresnya mahasiswa memikirkan mata pelajaran, biaya kuliah dan masa depan.
Walau sebagai anak jadah yang barang kali tak perlu pengakuan dari sang ayah, longser masa kini masih memiliki tempat di hati masyarakat. Kesenian ini menjadi hiburan alternatif di tengah-tengah semaraknya kesenian modern yang serba digital dan para pelakunya secara tersirat memiliki kesamaan pandangan dengan pendapat Prof. Dr. C.A. Van Peusen, seorang filsuf dari Belanda. Bahwa kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis. Dulu kata “kebudayaan“ diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai sebuah kata kerja….. Memang, dalam pengertian kebudayaan juga termasuk tradisi, dan “tradisi“ dapat diterjemahkan dengan pewarisan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebut bukanlah sutu yang tidak dapat diubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia menerimanya, menoloknya atau mengubahnya.
Sebagai catatan kecil kiranya lembanga semacam STSI Bandung diharapkan dapat mendorong mahasiswa dan para dosennya untuk lebih spesifik lagi mengkaji keilmuan longser secara praktek maupun literatur. Longser jangan sampai menjadi pepesan kosong yang senantiasa diperebutkan. Melalui lembaga itu semestinya langser menjadi kekuatan lokal yang mampu dibawa kewacana global, dan bukan dijadikan tempat pelarian dari kejenuhan terhadap teater Barat sebagai soko gurunya. Sementara bagi kawan-kawan yang masih setia menggeluti dunia langser, “ayo maju terus!” Seni kita bukan sekedar untuk diperbincangkan, tapi mesti dilakoni pula. Pok, pek, Prak. ***

Tulisan ini dimuat di KHAZANAH Lembaran Budaya HU. Pikiran Rakyat.

Tidak ada komentar: