Minggu, 15 November 2009

Program Bandoengmooi 2010


TEMU MONOLOG PEREMPUAN II 2010

DASAR PEMIKIRAN

Dalam seni teater perumpuan merupakan bagian yang sangat penting dan senantiasa dibicarakan baik sebagai subjek (pelaku seni) ataupun objek (sumber gagasan dalam bentuk pertunjukan dan diskusi). Untuk itu amatlah penting bagi kami menggali kembali kesadaran akan potensi dan hak-hak dasar perempuan yang dalam hal ini akan kami wujudkan lewat bentuk kreatifitas, yakni berupa kemasan pertunjukan teater dan diskusi dengen tema besar TEMU MONOLOG PEREMPUAN.

MAKSUD DAN TUJUAN

Temu Monolog Perempuan ini merupakan event kali ke dua program Bandoengmooi.

1. Dalam TEMU MONOLOG PEREMPUAN II ini diharapkan perempuan mempunyai andil yang lebih besar; sebagai sutradara, sebagai pemain (actor), dan sebagai pembicara (Pemateri utama dalam diskusi).

2. Membangun/membina kelompok masyarakat kususnya masyarakat seni peduli akan hak-hak perempuan terutama terhadap kekerasan di dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan dalam wujud lainnya (pelecehan seksual, penganiayaan yang terhadap perempuan) dan penjualan perempuan.

MATERI DAN WAKTU PELAKSANAAN

Pertunjukan, Workshop dan Diskusi Monolog Perempuan

Mengundang 10 perwakil/group teater dari 10 kota besar di Indonesia (Padang, Jambi, Lampung, Jakarta, Sereng Banten, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Maksar, dan Bajarmasin)

· Materi monolog diserahkan kepada para pemain/kelompok teater dengan tema pokok kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga dan penjualan perempuan. Setiap peserta monoloh diwajibkan mengambil sutu dari ketiga masalah tersebut.

· Setiap peserta monolog diharapkan mampu menonjolkan karakteristik daerahnya masing-masing, baik bentuk pertunjukan ataupun dialek daerah dimana mereka tinggal sehingga tercemin mewakili rasa kelokalan yang dimilikinya.

Waktu Pelaksanaan

Tanggal 3 s/d 6 Agustus 2010

Tempat Pelaksanaan

Gedung Kesenian Dewi Asri STSI Bandung

TARGET YANG AKAN DICAPAI

Merupakan ajang kreasi dan memberi ruang pada kaum perempuan dalam menyalurkan potensi dan bakat teaternya dengan menampilkan beberapa orang/kelompok/pertunjukan teater, sehingga dapat dinikmati bersama oleh seluruh lapisan masyarakat.

Menyelenggarakan diskusi dengan mengusung tema perempuan dalam kancah kekuasaan dan perempuan dalam seni pertunjukan Indonesia.

Disampim mengembangkan skil dan kreativitas perempuan lewat pertunjukan dan diskusi masalah perempuan, sedikitnya diharapkan teater turut memberikan adil, ruang seluas mingkin terhadap perempuan, serta turut andil dalam proses penyadaran akan hak-hak dasar perempuan dan memberi perlindukangan, melakukan pembelaan atau mencegah terhadap tindakan kekerasan terhadap pelanggaran hakdasar perempuan Terutama masalah kekerasan remah tangga dan penjualan terhadap perempuan.

SASARAN AUDIENS DAN PESERTA MONOLOG

Sasaran audiens lebih menitikberatkan pada remaja (pelajar), masyarakat umum dan organisasi kesenian. Dalam waktu 4 hari Minimum 2.500 orang diharapkan dapat hadir dan dapat manfaat positip dari kegiatan Temu Monolog Perempuan II ini.

PENUTUP

Pembinaan akan kesadaran manusia dalam mengembangkan potensi diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lewatseni tidaklah bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tapi harus berkesinambungan dari waktu ke waktu. Program ini pun diharapkan bisa berkesinambungan dari tahun ketahun dan menjadi agenda tetap Bandoengmooi.

Minggu, 08 November 2009

Temu Monolog Perempuan 2009

Menelisik Wanita, Mengenal Perempuan

OLEH: MATDON

Jakarta - Dalam seni teater, perempuan merupakan bagian yang sangat penting dan senantiasa dibicarakan baik sebagai subjek (pelaku seni) ataupun objek (sumber gagasan dalam bentuk pertunjukan dan diskusi).

“Penting bagi kita menggali kembali pada kesadaran akan hak-hak dasar perempuan yang dalam hal ini akan kami wujudkan lewat bentuk kreativitas, yakni berupa kemasan pertunjukan teater,” ujar Ketua Bandoeng Mooi Hemana HMT seusai pertunjukan Kamis (22/10) malam lalu.
Dia berharap, lewat pertunjukan teater tersebut, para perempuan dapat memiliki andil yang lebih besar; sebagai sutradara, sebagai pemain (aktor), dan sebagai pembicara (pemateri utama dalam diskusi), serta mampu membangun kelompok masyarakat, khususnya masyarakat seni agar peduli terhadap hak-hak perempuan, terutama terhadap kekerasan di dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan dalam wujud lainnya seperti pelecehan seksual dan penjualan perempuan.
“Sasaran kami memang lebih menitikberatkan pada remaja, masyarakat umum, dan organisasi perempuan, khususnya yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya,” tambah Hermana. Ia juga menambahkan, teater juga bisa mempresentasikan problem perempuan yang menimpa daerahnya masing-masing.
Hermana menambahkan, gerakan perempuan kini menggelinding ke arah penyamaan hak dan keterlibatannya dalam panggung politik. “Perempuan bukan lagi kelompok manusia kelas dua. Meski secara nyata perlakuan-perlakuan yang merendahkan perempuan masih berlaku di mana-mana, isu perempuan bukan lagi isu sektoral yang esklusif dan mementingkan kelompoknya saja, tapi isu ini bagian penting dari pengakuan hak asasi manusia (HAM),” lanjutnya.
Sisi terpenting lainnya bagi pelaku teater dan apresiator adalah tumbuhnya kesadaran akan hak-hak dasar manusia dalam meredam tindakan-tindakan yang tidak sesuai HAM. Tidak mudah memang, karena harus berkesinambungan dari waktu ke waktu dan butuh proses panjang.
Menurutnya, Temu Monolog Perempuan ini merupakan ajang kreasi dan memberi ruang pada kaum perempuan dalam menyalurkan bakat teaternya. Lewat pertunjukan ini teater sedikitnya turut memberi andil dalam proses penyadaran akan hak-hak dasar perempuan, dan memberi perlindungan, melakukan pembelaan, atau mencegah tindakan kekerasan, juga pelanggaran hak dasar perempuan, terutama terkait masalah kekerasan rumah tangga dan penjualan perempuan.
Temu Monolog yang berlangsung pada 23-24 Oktober di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini dihadiri oleh tujuh aktor teater perempuan perwakilan daerah di Jawa Barat dan Banten. Selama dua hari berturut-turut, para aktor monolog benar-benar menonjolkan karakteristik daerahnya masing-masing, baik bentuk garapan ataupun dialek daerah sehingga tercermin budaya lokal yang dimilikinya.
Ketujuh aktor teater perempuan ini adalah Ayu Sintha dari Studio Teater 50–Indaramayu yang memainkan naskah “Tarling Jumiatin” karya Ucha M Sarna, Andinda Magnolia ( ISI Jogjakarta) dalam kisah “Balada Sumarah”, Riska Fauziah (Tim KNL-Bogor) membawakan “Kisah Cinta Neng Kokom” karya Tim Penulis KNL, Ruth Marini (Teater Satu-Lampung) mengambil naskah monolog berjudul “Wanci” karya Imas Sobariah, SSn.
Hadir pula Dennie Lestari (Posstheatron-Garut) dengan judul “Perempuan yang Membunuh Suaminya” karya Dorothea. Febby R Sutandi (Laskar Panggung-Bandung) akting dalam judul monolog “Mataya” karya Ria Mifelsa, Anten Kinasih (Domanagement Teater-Tasikmalaya) bermain dalam “Kerudung Darah” karya Lintang Ismaya, dan Rasmi Binti Makad (Teater Studio Indonesia-Banten) memainkan naskah karya Nandang Aradea berjudul “The Making of Earthenware”.
Sinar Harapan/Penulis adalah penyair, tinggal di Bandung.

Jumat, 07 Agustus 2009

Kolaborasi Wayang, Keroncong, dan Teater




MELIHAT judulnya "Wayang Keroncong", timbul sejumlah pertanyaan dalam benak. Apakah ini hal baru dalam pertunjukan wayang atau hanya sebuah judul ?

Pertanyaan ini kemudian terbawa sampai ke suatu gedung pertunjukan, Gedung Dewi Asri STSI Bandung, di mana wayang keroncong dipergelar, Sabtu (2/5). Setelah sekian lama menyimak, ternyata ini benar-benar sebuah pertunjukan wayang walaupun hanya sebentar. Pasalnya, dua buah gebog (batang pisang) terpasang di atas panggung dengan posisi agak miring. Selain itu, tertancap juga sebuah gugunungan terbuat dari kulit dengan ukiran wayang dan tokoh buta yang bermata lebar serta giginya yang tongos dan tajam. Gugunungan itu biasanya digunakan oleh para dalang sebelum, selama, dan sesudah pertunjukan wayang.

Namun ada yang menjadi aneh, karena selain ada gugunungan dan wayang yang dimainkan di atas batang pisang, juga ada beberapa orang mengenakan kain wayang serta sejumlah orang berpakaian seperti biasa. Anehnya lagi meski ada dalang, pertunjukan wayang ini tidak diiringi dengan seperangkat gamelan seperti kendang, saron, bonang, rebab, dan sebagainya. Namun, pergelaran wayang ini diiringi musik keroncong lengkap dengan penyanyinya yang mengenakan kebaya putih mirip penampilan sinden. Bedanya, si penari duduk di luar panggung dan sesekali berdiri ketika melantunkan lagu. Sedangkan sinden, duduk di atas panggung sejajar dengan para nayaga serta tetap duduk ketika melantunkan lagu.

Sedangkan keberadaan orang-orang yang mengenakan pakaian wayang dan pakaian biasa, ternyata mereka adalah para pemain teater dengan berbagai karakter. Mereka memainkan tema cerita yang saat itu berjudul "Cuk dan Cis", yang diangkat dari sebuah cerita pendek karya Vincent Mahieu terjemahan H.B. Jassin. Keberadaan wayang sendiri, hanyalah dijadikan objek tambahan sebagai sebuah teater lama.

Menurut asisten sutradara yang juga pemain, HermanaHMT, sebenarnya pergelaran wayang merupakan sebuah pertunjukan teater yang usianya sudah tua seiring penyebaran agama Islam di tanah Jawa, beberapa abad lalu. Keberadaan seni wayang dijadikan sarana penyebaran agama Islam oleh para sunan yang jumlahnya sembilan atau dikenal Wali Sanga. Penyebaran agama Islam melalui seni wayang, ternyata dinilai lebih efektif. Karena, kala itu masyarakat lebih menyenangi seni budaya, termasuk seni wayang yang relatif baru.

Sebagai sebuah pertunjukan teater, seni wayang tidak pernah dijadikan rujukan atau dipelajari oleh klub-klub teater di Indonesia. Menurut Hermana HMT, klub-klub teater di Indonesia lebih banyak menginduk pada pertunjukan teater modern dari luar negeri. "Padahal, dalam seni wayang sangat sarat dengan adegan, intrik serta pelajaran yang bisa diambil oleh para seniman teater," ujarnya.

Karena itu, Hermana bersama Behindtheactor's mencoba menggelar pertunjukan teater berlatar belakang pergelaran wayang dengan alunan musik keroncong. Hermana HMT ingin menampilkan nuansa baru dalam berteater, yang memadukan unsur teater dengan pergelaran wayang. Boleh jadi, pertunjukan ini merupakan hal baru dalam bidang teater dan wayang golek.

Walaupun demikian, Hermana HMT mengaku tidak ambil pusing jika ada klub teater atau seniman teater termasuk seniman wayang golek dan dalang memprotes pertunjukannya. "Ya, silakan saja mau protes atau tidak. Tapi, saya mau menunjukkan genre baru dalam berteater dan wayang golek," ujarnya.

Tidak gentar

Sementara cerita dari Cuk dan Cis sendiri menceritakan seorang pengembara yang tidak pernah lelah, yakni Cuk. Dia merupakan seorang yang tidak gentar dan pandai berenang ini terus mengembara mencari tambatan hatinya. Cuk yang bernama Gerda ini merupakan seorang gadis yang hidup di zaman Belanda dan mencintai seorang guru musiknya, Tuan Barres. Tuan Barres sendiri hidup di sebuah pemakaman Cina dan Belanda.

Cuk alias Gerda kemudian bersahabat dengan Man. Bersama Man inilah, Cuk berusaha mendapatkan cinta Tuan Barres. Namun cintanya tak terbalas, sampai akhirnya Cuk meninggal di pangkuan Man.

Sedangkan penulis cerpen Vincent Manhieu atau Tjalie Robinson atau Jan Boon, adalah seorang Indo-Belanda yang berprofesi sebagai wartawan dan penulis cerpen. Cerpen pertama berjudul Cis yang berlatar belakang cerita Betawi asli yang selalu menampilkan konflik-konflik dalam keluarga Indis "campuran Indo". Cerpen kedua berjudul Cuk, yang mengingatkan kita pada masa konflik bersenjata antara Indonesia dengan penjajah Belanda. Kedua cerpen tersebut diterjemahkan oleh H.B. Jassin.

Tjalie Robinson atau Vincent Manhieu sangat cinta terhadap tanah Indonesia. Ini terlihat dari cerpen-cerpen karyanya yang banyak menceritakan tentang Indonesia dan segala isinya. Pada 1974, Vincent Manhieu meninggal dunia di Belanda, dan satu tahun kemudian abunya ditaburkan di Teluk Jakarta, di lepas pasar ikan dengan diiringi musik keroncong.

Hal inilah yang mengilhami Hermana HMT untuk mengolaborasikan pergelaran wayang dan teater dengan diiringi musik keroncong, yang kemudian disebut pergelaran wayang keroncong. Selain di Bandung, pergelaran wayang keroncong ini juga ditampilkan di Erasmus Huis Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta, 13 Mei 2009. (kiki kurnia/"GM"- Diambil dari: www.galamedia.com)**