Temu Monolog Perempuan 2009
Menelisik Wanita, Mengenal Perempuan
OLEH: MATDON

“Penting bagi kita menggali kembali pada kesadaran akan hak-hak dasar perempuan yang dalam hal ini akan kami wujudkan lewat bentuk kreativitas, yakni berupa kemasan pertunjukan teater,” ujar Ketua Bandoeng Mooi Hemana HMT seusai pertunjukan Kamis (22/10) malam lalu.
Dia berharap, lewat pertunjukan teater tersebut, para perempuan dapat memiliki andil yang lebih besar; sebagai sutradara, sebagai pemain (aktor), dan sebagai pembicara (pemateri utama dalam diskusi), serta mampu membangun kelompok masyarakat, khususnya masyarakat seni agar peduli terhadap hak-hak perempuan, terutama terhadap kekerasan di dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan dalam wujud lainnya seperti pelecehan seksual dan penjualan perempuan.
“Sasaran kami memang lebih menitikberatkan pada remaja, masyarakat umum, dan organisasi perempuan, khususnya yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya,” tambah Hermana. Ia juga menambahkan, teater juga bisa mempresentasikan problem perempuan yang menimpa daerahnya masing-masing.
Hermana menambahkan, gerakan perempuan kini menggelinding ke arah penyamaan hak dan keterlibatannya dalam panggung politik. “Perempuan bukan lagi kelompok manusia kelas dua. Meski secara nyata perlakuan-perlakuan yang merendahkan perempuan masih berlaku di mana-mana, isu perempuan bukan lagi isu sektoral yang esklusif dan mementingkan kelompoknya saja, tapi isu ini bagian penting dari pengakuan hak asasi manusia (HAM),” lanjutnya.
Sisi terpenting lainnya bagi pelaku teater dan apresiator adalah tumbuhnya kesadaran akan hak-hak dasar manusia dalam meredam tindakan-tindakan yang tidak sesuai HAM. Tidak mudah memang, karena harus berkesinambungan dari waktu ke waktu dan butuh proses panjang.
Menurutnya, Temu Monolog Perempuan ini merupakan ajang kreasi dan memberi ruang pada kaum perempuan dalam menyalurkan bakat teaternya. Lewat pertunjukan ini teater sedikitnya turut memberi andil dalam proses penyadaran akan hak-hak dasar perempuan, dan memberi perlindungan, melakukan pembelaan, atau mencegah tindakan kekerasan, juga pelanggaran hak dasar perempuan, terutama terkait masalah kekerasan rumah tangga dan penjualan perempuan.
Temu Monolog yang berlangsung pada 23-24 Oktober di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini dihadiri oleh tujuh aktor teater perempuan perwakilan daerah di Jawa Barat dan Banten. Selama dua hari berturut-turut, para aktor monolog benar-benar menonjolkan karakteristik daerahnya masing-masing, baik bentuk garapan ataupun dialek daerah sehingga tercermin budaya lokal yang dimilikinya.
Ketujuh aktor teater perempuan ini adalah Ayu Sintha dari Studio Teater 50–Indaramayu yang memainkan naskah “Tarling Jumiatin” karya Ucha M Sarna, Andinda Magnolia ( ISI Jogjakarta) dalam kisah “Balada Sumarah”, Riska Fauziah (Tim KNL-Bogor) membawakan “Kisah Cinta Neng Kokom” karya Tim Penulis KNL, Ruth Marini (Teater Satu-Lampung) mengambil naskah monolog berjudul “Wanci” karya Imas Sobariah, SSn.
Hadir pula Dennie Lestari (Posstheatron-Garut) dengan judul “Perempuan yang Membunuh Suaminya” karya Dorothea. Febby R Sutandi (Laskar Panggung-Bandung) akting dalam judul monolog “Mataya” karya Ria Mifelsa, Anten Kinasih (Domanagement Teater-Tasikmalaya) bermain dalam “Kerudung Darah” karya Lintang Ismaya, dan Rasmi Binti Makad (Teater Studio Indonesia-Banten) memainkan naskah karya Nandang Aradea berjudul “The Making of Earthenware”.
Sinar Harapan/Penulis adalah penyair, tinggal di Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar