MELIHAT judulnya "Wayang Keroncong", timbul sejumlah pertanyaan dalam benak. Apakah ini hal baru dalam pertunjukan wayang atau hanya sebuah judul ?
Pertanyaan ini kemudian terbawa sampai ke suatu gedung pertunjukan, Gedung Dewi Asri STSI Bandung, di mana wayang keroncong dipergelar, Sabtu (2/5). Setelah sekian lama menyimak, ternyata ini benar-benar sebuah pertunjukan wayang walaupun hanya sebentar. Pasalnya, dua buah gebog (batang pisang) terpasang di atas panggung dengan posisi agak miring. Selain itu, tertancap juga sebuah gugunungan terbuat dari kulit dengan ukiran wayang dan tokoh buta yang bermata lebar serta giginya yang tongos dan tajam. Gugunungan itu biasanya digunakan oleh para dalang sebelum, selama, dan sesudah pertunjukan wayang.
Namun ada yang menjadi aneh, karena selain ada gugunungan dan wayang yang dimainkan di atas batang pisang, juga ada beberapa orang mengenakan kain wayang serta sejumlah orang berpakaian seperti biasa. Anehnya lagi meski ada dalang, pertunjukan wayang ini tidak diiringi dengan seperangkat gamelan seperti kendang, saron, bonang, rebab, dan sebagainya. Namun, pergelaran wayang ini diiringi musik keroncong lengkap dengan penyanyinya yang mengenakan kebaya putih mirip penampilan sinden. Bedanya, si penari duduk di luar panggung dan sesekali berdiri ketika melantunkan lagu. Sedangkan sinden, duduk di atas panggung sejajar dengan para nayaga serta tetap duduk ketika melantunkan lagu.
Sedangkan keberadaan orang-orang yang mengenakan pakaian wayang dan pakaian biasa, ternyata mereka adalah para pemain teater dengan berbagai karakter. Mereka memainkan tema cerita yang saat itu berjudul "Cuk dan Cis", yang diangkat dari sebuah cerita pendek karya Vincent Mahieu terjemahan H.B. Jassin. Keberadaan wayang sendiri, hanyalah dijadikan objek tambahan sebagai sebuah teater lama.
Menurut asisten sutradara yang juga pemain, HermanaHMT, sebenarnya pergelaran wayang merupakan sebuah pertunjukan teater yang usianya sudah tua seiring penyebaran agama Islam di tanah Jawa, beberapa abad lalu. Keberadaan seni wayang dijadikan sarana penyebaran agama Islam oleh para sunan yang jumlahnya sembilan atau dikenal Wali Sanga. Penyebaran agama Islam melalui seni wayang, ternyata dinilai lebih efektif. Karena, kala itu masyarakat lebih menyenangi seni budaya, termasuk seni wayang yang relatif baru.
Sebagai sebuah pertunjukan teater, seni wayang tidak pernah dijadikan rujukan atau dipelajari oleh klub-klub teater di Indonesia. Menurut Hermana HMT, klub-klub teater di Indonesia lebih banyak menginduk pada pertunjukan teater modern dari luar negeri. "Padahal, dalam seni wayang sangat sarat dengan adegan, intrik serta pelajaran yang bisa diambil oleh para seniman teater," ujarnya.
Karena itu, Hermana bersama Behindtheactor's mencoba menggelar pertunjukan teater berlatar belakang pergelaran wayang dengan alunan musik keroncong. Hermana HMT ingin menampilkan nuansa baru dalam berteater, yang memadukan unsur teater dengan pergelaran wayang. Boleh jadi, pertunjukan ini merupakan hal baru dalam bidang teater dan wayang golek.
Walaupun demikian, Hermana HMT mengaku tidak ambil pusing jika ada klub teater atau seniman teater termasuk seniman wayang golek dan dalang memprotes pertunjukannya. "Ya, silakan saja mau protes atau tidak. Tapi, saya mau menunjukkan genre baru dalam berteater dan wayang golek," ujarnya.
Tidak gentar
Sementara cerita dari Cuk dan Cis sendiri menceritakan seorang pengembara yang tidak pernah lelah, yakni Cuk. Dia merupakan seorang yang tidak gentar dan pandai berenang ini terus mengembara mencari tambatan hatinya. Cuk yang bernama Gerda ini merupakan seorang gadis yang hidup di zaman Belanda dan mencintai seorang guru musiknya, Tuan Barres. Tuan Barres sendiri hidup di sebuah pemakaman Cina dan Belanda.
Cuk alias Gerda kemudian bersahabat dengan Man. Bersama Man inilah, Cuk berusaha mendapatkan cinta Tuan Barres. Namun cintanya tak terbalas, sampai akhirnya Cuk meninggal di pangkuan Man.
Sedangkan penulis cerpen Vincent Manhieu atau Tjalie Robinson atau Jan Boon, adalah seorang Indo-Belanda yang berprofesi sebagai wartawan dan penulis cerpen. Cerpen pertama berjudul Cis yang berlatar belakang cerita Betawi asli yang selalu menampilkan konflik-konflik dalam keluarga Indis "campuran Indo". Cerpen kedua berjudul Cuk, yang mengingatkan kita pada masa konflik bersenjata antara Indonesia dengan penjajah Belanda. Kedua cerpen tersebut diterjemahkan oleh H.B. Jassin.
Tjalie Robinson atau Vincent Manhieu sangat cinta terhadap tanah Indonesia. Ini terlihat dari cerpen-cerpen karyanya yang banyak menceritakan tentang Indonesia dan segala isinya. Pada 1974, Vincent Manhieu meninggal dunia di Belanda, dan satu tahun kemudian abunya ditaburkan di Teluk Jakarta, di lepas pasar ikan dengan diiringi musik keroncong.
Hal inilah yang mengilhami Hermana HMT untuk mengolaborasikan pergelaran wayang dan teater dengan diiringi musik keroncong, yang kemudian disebut pergelaran wayang keroncong. Selain di Bandung, pergelaran wayang keroncong ini juga ditampilkan di Erasmus Huis Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta, 13 Mei 2009. (kiki kurnia/"GM"- Diambil dari: www.galamedia.com)** |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar